Media Islam Online 4 Maret tahun ini adalah peringatan ke-86 sebuah peristiwa penting yang sampai hari ini masih dirasakan guncangannya. Peristiwa tersebut menjadi titik balik sejarah walau banyak orang tidak menyadarinya. Agar dapat sepenuhnya memahami pentingnya peringatan ini, kita harus kita kembali ke Istanbul, tahun 1924.
Suatu waktu setelah tengah malam. Sebuah cahaya, berasal dari perpustakaan, di dalam istana Dolmabache. Di sana, seorang tua duduk dan membaca al Qur'an merenungkan keadaan umatnya. Meskipun dia dikelilingi kemewahan sejauh mata memandang, ia merupakan sosok yang kesepian. Namanya Abdul Majid, Khalifah Islam ke-101.
Dua tahun sebelumnya, saudara sepupunya Muhammad VI diasingkan ke Italia (di mana ia mati kelaparan) dan Kesultanan Utsmaniyah sudah dihapuskan. Pasukan Turki Muda sekuler telah mengakhiri dinasti Utsmaniyah, namun mereka tidak bisa langsung menghapuskan keKhalifahan. Mereka mulai melakukan kekerasan dan intimidasi untuk memastikan semua pendukung Khalifah telah dimusnahkan.
Akhirnya, pada malam 4 Maret, mereka beraksi. Seorang utusan tentara muda membuka pintu perpustakaan. Sang Khalifah terus membaca al Qur'an. Utusan tersebut awalnya terkejut dengan pemandangan itu, tapi menguatkan dirinya dan membacakan proklamasi dari Majelis Nasional Agung.
Khalifah menolak meninggalkan Istanbul, tapi stafnya khawatir mereka semua akan dibunuh oleh tentara yang mengepung istana. Setelah menimbang beberapa pilihan, dengan berat hati Ia mengemas beberapa pakaiannya dan pergi ke pengasingan.
Sebelum shalat Fajar, Khalifah dibawa ke stasiun kereta api utama di bawah todongan senjata, di mana ia dan keluarganya ditempatkan di Orient Express menuju Swiss. Sebuah amplop berisi 2.000 pounsterling diberikan kepada orang yang meninggalkan istana penuh berlian, zamrud dan emas.
Sang kepala stasiun cepat mengantar Sang Khalifah dan keluarganya ke dalam rumah kecil di samping stasiun untuk melindungi mereka dari dingin, sementara mereka menunggu kereta untuk memulai perjalanan yang menyedihkan. Saat mereka minum teh, Khalifah mengucapkan terima kasih atas keramahannya.
Sang kepala stasiun, seorang Yahudi, mulai menangis. “Bagaimana bisa kau berterima kasih padaku?” tanyanya mengetahui bahwa orang itu adalah Khalifah Islam yang telah menjaga kehidupan dan martabat orang-orang Yahudi setiap kali mereka dianiaya di belahan dunia yang lain. Sebaliknya, ia mengucapkan terima kasih kepada Khalifah untuk kehormatan dapat melayani beliau walau hanya untuk waktu yang singkat.
Di pagi hari, umat Islam terbangun dengan berita yang mereka hampir tidak percaya akan terjadi --KeKhalifahan telah dihapuskan. Ada kerusuhan dan pemberontakan di berbagai tempat, tapi tentara menghentikannya dengan kekejaman.
Khalifah terakhir menghabiskan hari-harinya berjalan sepanjang pantai di Nice, Perancis. Di sana ia menjalani kehidupan sederhana sampai ia meninggal karena serangan jantung pada tahun 1944 selama pendudukan Nazi di Perancis.
Sekarang, pada peringatan ke-86 peristiwa yang menghancurkan dunia, Amerika Serikat masih memiliki presidennya, Inggris masih memiliki Ratunya, dan bahkan Katolik masih memiliki Paus --tetapi Muslim terpaksa menjelajah hutan belantara tanpa pemimpin.
Khalifah Abdul Majid II akhirnya dimakamkan di pemakaman Jannat Al Baqi di Madinah. Di antara para pahlawan besar Islam masa lalu, dikuburkan simbol kita yang paling kuat atas masa kini yang rapuh. Ada sampai hari ini, Khalifah Islam yang pertama dan terakhir terletak hanya beberapa meter satu sama lain --sebagai sebuah pengingat bangsa Muslim yang besar yang tidak lagi memiliki pemimpin.[]
Diterjemahkan dari http://muslimmatters.org/2010/06/24/the-end-the-anniversary-of-the-abolition-of-the-caliphate/
Subscribe
Senin, 28 Juni 2010
Yang Terakhir: Peringatan Penghapusan Khalifah
