A. Definisi Shalat Tarawih
Shalat (الصلاة) secara bahasa bermakna doa (الدعاء), sebagaimana firman Allah ta’ala:
وصل عليهم
Artinya: “…dan berdoalah untuk mereka.”[1]
Juga sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إذا دعي أحدكم فليجب فإن كان صائما فليصل، وإن كان مفطرا فليطعم
Artinya: “Jika salah seorang di antara kalian diundang, maka
penuhilah. Jika ia dalam sedang berpuasa, maka berdoalah untuk
pengundang, dan jika ia tidak berpuasa, maka makanlah.”[2]
Sedangkan secara istilah, menurut jumhur fuqaha, shalat berarti
‘sejumlah perkataan dan perbuatan, yang dibuka dengan takbir, dan
ditutup dengan salam, dengan disertai niat, dan dengan syarat-syarat
khusus’. Sedangkan menurut Hanafiyah, shalat berarti ‘nama bagi
perbuatan-perbuatan yang diketahui, yang terdiri dari berdiri, ruku’,
dan sujud’.[3]
Tarawih (التراويح) merupakan bentuk jamak dari tarwihah (ترويحة), yang berarti istirahat. Kata tarwihah
asalnya digunakan untuk menyebut aktivitas duduk-duduk (الجلسة) secara
mutlak. Dan aktivitas duduk-duduk untuk istirahat setiap empat rakaat
shalat malam di bulan Ramadhan dinamakan tarwihah. Sehingga
shalat malam di bulan Ramadhan dinamakan dengan shalat tarawih, karena
shalat tersebut dilaksanakan dalam waktu yang panjang, dan diselingi
dengan duduk-duduk untuk istirahat setiap selesai empat rakaat.[4]
Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani rahimahullah, di kitab Fathul
Bari menyatakan, ‘Shalat jamaah yang dilaksanakan di malam bulan
Ramadhan dinamakan tarawih karena orang-orang (para shahabat) pertama
kali melaksanakannya, beristirahat pada setiap dua kali salam’[5].
Secara istilah, fuqaha mendefinisikan shalat tarawih dengan ‘qiyam (shalat) Ramadhan di awal malam’[6],
atau ‘qiyam (shalat) di bulan Ramadhan, dua rakaat-dua rakaat, yang
fuqaha berbeda pendapat tentang jumlah rakaatnya dan beberapa masalah
lainnya’[7].
Istilah shalat tarawih sendiri belum dikenal di masa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, hal ini bisa diketahui dari tidak adanya riwayat
yang menyebut istilah tersebut di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Saat itu, istilah yang dikenal adalah qiyam Ramadhan.
B. Hukum Shalat Tarawih
Ulama sepakat disunnahkannya shalat tarawih di bulan Ramadhan. Dan
menurut Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, ia merupakan sunnah
muakkadah. Kesunnahannya berlaku untuk laki-laki dan perempuan.[8] Kesepakatan ulama atas sunnahnya shalat tarawih juga disebutkan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah di kitab beliau, al-Majmu’[9].
Hal ini berdasarkan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Artinya: “Barangsiapa yang melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan
mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah
lalu.”[10]
Juga berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa di
suatu malam di bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
shalat di masjid, dan beberapa orang kemudian mengikuti beliau,
orang-orang yang mengikuti beliau bertambah banyak pada malam-malam
berikutnya, sampai pada malam ketiga atau keempat, Rasulullah tidak
keluar untuk melaksanakan shalat bersama orang-orang, kemudian pada
shubuhnya, beliau bersabda:
قد رأيت الذي صنعتم ولم يمنعني من الخروج إليكم إلا أني خشيت أن تفرض عليكم
Artinya: “Sungguh aku mengetahui apa yang telah kalian lakukan, dan
tidak ada yang mencegahku keluar (untuk shalat) bersama kalian, kecuali
aku takut ia difardhukan bagi kalian.”[11]
Juga berdasarkan atsar dari ‘Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu
yang mentradisikan shalat tarawih secara berjamaah dipimpin oleh satu
imam.[12]
Dan di saat itu masih banyak para shahabat, dari kalangan Muhajirin dan
Anshar, dan tidak ada seorangpun yang mengingkari perbuatan ‘Umar
tersebut, bahkan mereka mendukung beliau.[13]
C. Sejarah Shalat Tarawih
Ada dua periode sejarah shalat tarawih, pertama adalah di masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang kedua di masa
khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
Berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam shahih
al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
suatu malam di bulan Ramadhan keluar menuju masjid untuk melaksanakan
shalat malam, hal itu kemudian diikuti oleh beberapa shahabat. Pada
malam berikutnya, jumlah jamaah shalat tersebut semakin banyak. Hingga
pada malam ketiga atau keempat, para shahabat yang jumlahnya begitu
banyak, menunggu beliau di masjid untuk melaksanakan shalat malam, namun
beliau tidak kunjung datang. Kemudian pada shubuhnya, Nabi bersabda
sebagaimana riwayat yang sudah disebutkan sebelumnya.
Di periode berikutnya, yaitu di masa ‘Umar ibn al-Khaththab
radhiyallahu ‘anhu, mulai ditradisikanlah shalat tarawih berjamaah yang
dipimpin oleh satu imam, dan tradisi tersebut berlaku sampai sekarang.
Imam al-Bukhari[14]
meriwayatkan dari ‘Abdurrahman ibn ‘Abd al-Qari, bahwa pada suatu malam
di bulan Ramadhan, ia keluar menuju masjid bersama ‘Umar ibn
al-Khaththab, dan di masjid tersebut orang-orang terpencar-pencar, ada
yang shalat sendirian, ada juga yang menjadi imam untuk sekelompok kecil
orang. Melihat hal ini, ‘Umar kemudian berkata, ‘Menurutku, seandainya
mereka semua ini kukumpulkan pada seorang imam (yang akan mengimami
mereka semua), tentu lebih baik’. Kemudian beliau merealisasikan hal
itu, dan menjadikan Ubay ibn Ka’ab radhiyallahu ‘anhu sebagai imam bagi
mereka. Kemudian, ‘Abdurrahman ibn ‘Abd al-Qari bersama ‘Umar ibn
al-Khaththab keluar lagi di malam berikutnya, dan saat itu orang-orang
shalat diimami oleh imam mereka. Melihat hal tersebut, ‘Umar berkata,
‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Dan orang-orang yang tidur lebih baik
dari orang-orang yang shalat.’[15]
D. Adakah Panggilan Khusus Untuk Shalat Tarawih?
Jumhur fuqaha menyatakan tidak ada adzan dan iqamah untuk shalat
tarawih, karena tiadanya riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang hal itu.[16]
Sedangkan kalangan Syafi’iyah menyatakan, bahwa tidak ada azan dan
iqamah untuk shalat tarawih, namun dianjurkan untuk mengucapkan kalimat ash-shalaatu jaami’ah
sebelum shalat, hal ini sebagaimana pernyataan Imam asy-Syafi’i
rahimahullah yang dinukil oleh Imam an-Nawawi rahimahullah, ‘Tidak ada
adzan dan iqamah kecuali pada shalat yang diwajibkan, adapun shalat
‘ied, shalat kusuf, dan qiyam Ramadhan, aku menyukai diucapkan pada
shalat-shalat tersebut ash-Shalaatu jaami’ah’[17]. Kalangan Syafi’iyah berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah[18] yang menyebutkan ketika akan dilaksanakan shalat kusuf, diucapkanlah ash-Shalaatu jaami’ah, dan mereka mengqiyaskan hal ini ke seluruh shalat sunnah yang disunnahkan berjamaah, termasuk shalat tarawih.
Berbeda dengan Syafi’iyah, kalangan Hanabilah menyatakan tidak ada panggilan untuk shalat tarawih, dan panggilan ash-shalaatu jaami’ah adalah muhdats.[19]
E. Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Ada yang berpendapat, jumlah rakaat shalat tarawih ditambah witir
adalah sebelas rakaat, sebagaimana yang banyak dipraktikkan di negeri
ini. Mereka berdalil dengan hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
tentang shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata:
ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزيد في
رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا، فلا تسل عن حسنهن
وطولهن، ثم يصلي أربعا، فلا تسل عن حسنهن وطولهن، ثم يصلي ثلاثا
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
menambah (shalat malamnya), baik di bulan Ramadhan atau di bulan
lainnya, lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan
jangan engkau tanyakan tentang indah dan panjangnya shalat beliau.
Kemudian beliau shalat empat rakaat lagi, dan jangan engkau tanyakan
tentang indah dan panjangnya shalat beliau, kemudian beliau shalat tiga
rakaat.”[20]
Sedangkan jumhur fuqaha, dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah,
Hanabilah, dan sebagian Malikiyah menyatakan jumlah rakaat shalat
tarawih adalah dua puluh rakaat. Hal ini sebagaimana riwayat Malik dari
Yazid ibn Ruman, dan al-Baihaqi dari as-Saib ibn Yazid, bahwa shalat
malam yang dilaksanakan oleh orang-orang di masa ‘Umar berjumlah dua
puluh rakaat.[21]
Bahkan al-Kasani rahimahullah, dari kalangan Hanafiyah, menyatakan,
‘Sesungguhnya ‘Umar mengumpulkan para shahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam atas Ubay ibn Ka’ab, dan ia shalat dengan mereka
setiap malam dua puluh rakaat. Dan tidak ada seorangpun yang mengingkari
hal ini, sehingga hal ini merupakan ijma’ di antara mereka’[22].
Sedangkan Malik ibn Anas rahimahullah, di salah satu qaulnya,
menyatakan bahwa shalat tarawih berjumlah 36 rakaat, dan di qaul beliau
yang lain, 26 rakaat.[23] Shalat tarawih 36 rakaat ini, menurut kalangan Malikiyah, merupakan praktik di masa khalifah ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz.[24] Masih menurut Malikiyah, shalat tarawih boleh dilakukan 20 rakaat, ataupun 36 rakaat.[25]
Terakhir, tentang jumlah rakaat tarawih ini, saya kutipkan pernyataan
as-Suyuthi rahimahullah, beliau berkata, ‘Yang disebutkan dalam
hadits-hadits shahih dan hasan, adalah perintah dan anjuran untuk
melaksanakan qiyam Ramadhan tanpa menyebutkan pengkhususan jumlah rakaat
tertentu. Dan tidak tsabit bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
shalat tarawih dua puluh rakaat. Beliau shalat malam di beberapa malam
tanpa disebutkan jumlah rakaatnya, kemudian hal itu berakhir di malam
keempat karena khawatir shalat tersebut diwajibkan atas umatnya, dan
mereka tidak mampu melakukannya’.[26]
F. Waktu Pelaksanaan Shalat Tarawih
Mayoritas ahli fiqih menyatakan bahwa waktu shalat tarawih adalah
setelah shalat ‘isya hingga terbit fajar, dan dikerjakan sebelum shalat
witir. Hal ini berdasarkan perbuatan para shahabat ridhwanullahi
‘alaihim ajma’in.
Ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat tarawih yang dikerjakan
setelah shalat maghrib dan sebelum shalat ‘isya. Jumhur fuqaha dan
pendapat yang paling shahih dari kalangan Hanafiyah menyatakan shalat
tarawih sebelum shalat ‘isya tidak dianggap sebagai shalat tarawih.
Sedangkan sebagian kalangan Hanafiyah menyatakan shalat tersebut tetap
sah dianggap sebagai shalat tarawih, karena menurut mereka seluruh
malam, sebelum terbit fajar, merupakan waktu shalat tarawih, baik
sebelum ‘isya maupun sesudahnya.
Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah menyatakan mustahab mengakhirkan waktu
tarawih hingga sepertiga atau setengah malam terakhir. Sedangkan
Hanabilah mengatakan shalat di awal malam lebih utama, karena itu yang
dipraktikkan oleh para shahabat di masa ‘Umar. Kalangan Hanafiyah,
menurut pendapat yang paling shahih, menyatakan sah shalat tarawih yang
dilaksanakan setelah shalat witir.[27]
G. Dua Rakaat Satu Kali Salam, Atau Empat Rakaat Satu Kali Salam?
Saat ini, khususnya di negeri ini, banyak tempat yang melaksanakan
shalat tarawih empat rakaat satu kali salam. Mereka berdalil dengan
hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang shalat malam Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan dan di luar bulan
Ramadhan[28].
Namun, mayoritas fuqaha, tidak berdalil dengan hadits tersebut untuk
menentukan jumlah rakaat shalat tarawih dalam satu kali salam. Mereka
lebih cenderung menggunakan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berikut ini:
صلاة الليل مثنى مثنى
Artinya: “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat.”[29]
Bahkan, sebagian fuqaha menyatakan bahwa hadits dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha mengandung dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya empat rakaat satu kali
salam, dan kemungkinan kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengerjakannya empat rakaat dua kali salam, sebagaimana yang dinyatakan
langsung oleh beliau bahwa shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, dan
ini yang dipraktikkan oleh salafus shalih, dari kalangan shahabat dan
yang mengikuti mereka.
Pemahaman ini juga sesuai dengan hadits yang lain dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan Imam Muslim rahimahullah berikut
ini:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي فيما
بين أن يفرغ من صلاة العشاء – وهي التي يدعو الناس العتمة – إلى الفجر،
إحدى عشرة ركعة، يسلم بين كل ركعتين، ويوتر بواحدة
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan
shalat setelah selesai shalat ‘isya –pada waktu yang disebut oleh
orang-orang sebagai ‘atamah (waktu shalat ‘isya terakhir)–,
sebelas rakaat, dan beliau mengucapkan salam tiap dua rakaat, dan
melaksanakan shalat witir satu rakaat.”[30]
Walaupun mayoritas fuqaha menyatakan shalat malam itu dua rakaat-dua
rakaat, namun mereka berbeda pendapat tentang kebolehan shalat malam
lebih dari dua rakaat satu kali salam. Menurut kalangan Syafi’iyah, jika
seseorang shalat tarawih empat rakaat satu kali salam, maka tidak sah
shalat tarawihnya. Jika ia melakukannya dengan sengaja dan memiliki
pengetahuan, maka batallah shalatnya, jika tidak sengaja atau tidak
memiliki pengetahuan tentang hal tersebut, maka shalatnya hanya dinilai
sebagai shalat sunnah mutlak.
Sedangkan Hanafiyah menyatakan kebolehan shalat tarawih dilaksanakan
seluruhnya hanya dengan satu kali salam, jika ia duduk di tiap dua
rakaat. Namun, jika ini dilakukan secara sengaja, hukumnya makruh,
karena bertentangan dengan tradisi umat Islam yang dilaksanakan secara
turun-temurun, sejak masa shahabat. Jika shalat tarawih tersebut
dilaksanakan seluruhnya dengan satu kali salam, tanpa duduk di tiap dua
rakaat, maka menurut Muhammad ibn al-Hasan rahimahullah batal shalatnya,
sedangkan menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf rahimahumallah tidak batal
shalatnya.
Dan menurut Malikiyah, disunnahkan mengucapkan salam dalam shalat
tarawih tiap dua rakaat, dan dimakruhkan mengakhirkan salam setelah
empat rakaat.[31]
H. Bolehkah Melaksanakan Shalat Tarawih Secara Sendiri-Sendiri?
Fuqaha sepakat atas disyariatkannya shalat tarawih secara berjamaah,
sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
perbuatan para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in sejak masa ‘Umar
ibn al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dan ini terus berlangsung hingga
sekarang.
Namun fuqaha berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama, shalat berjamaah di masjid, atau shalat sendirian di rumah.[32]
Ulama Malikiyah menyatakan disunnahkan shalat tarawih di rumah
masing-masing, hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berikut ini:
فعليكم بالصلاة في بيوتكم، فإن خير صلاة المرء في بيته إلا الصلاة المكتوبة
Artinya: “Hendaknya kalian melaksanakan shalat di rumah-rumah kalian,
karena sesungguhnya sebaik-baiknya shalat seorang laki-laki adalah di
rumahnya, kecuali shalat fardhu.”[33]
Namun kesunnahan ini harus memenuhi tiga syarat terlebih dulu, yaitu
(1) masjid tidak terbengkalai karenanya, (2) ia mengerjakan shalat
tersebut di rumah secara sungguh-sungguh, dan (3) ia tidak berada di
wilayah dua tanah haram. Jika salah satu syarat tersebut tidak
terpenuhi, maka shalat di masjid lebih utama.
Sedangkan menurut Hanafiyah, shalat tarawih secara berjamaah hukumnya
sunnah kifayah, jika semua orang meninggalkannya, maka mereka semua
berdosa. Jika seseorang tidak ikut berjamaah, dan shalat tarawih
sendirian di rumahnya, maka ia telah kehilangan keutamaan berjamaah. Dan
jika ia shalat berjamaah di rumah, maka ia telah meninggalkan keutamaan
berjamaah di masjid.
Ulama Syafi’iyah menyatakan, menurut pendapat yang paling shahih,
disunnahkan shalat tarawih secara berjamaah, sebagaimana perbuatan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha, dan atsar di masa ‘Umar ibn al-Khaththab
radhiyallahu ‘anhu, juga karena umat Islam mengamalkan hal ini. Namun,
ada juga pendapat lain di kalangan Syafi’iyah yang menyatakan bahwa
shalat tarawih sendirian lebih utama, sebagaimana shalat malam secara
umum, dan karena itu lebih jauh dari perbuatan riya.
Dan menurut Hanabilah, shalat tarawih secara berjamaah lebih utama
dari shalat sendirian. Imam Ahmad ibn Hanbal rahimahullah berkata,
‘Jabir, ‘Ali dan ‘Abdullah melaksanakan shalat tersebut secara
berjamaah’[34].
Mereka juga berdalil dengan hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan keluarga dan
istri-istri beliau, kemudian beliau bersabda:
إن الرجل إذا صلى مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة
Artinya: “Sesungguhnya seorang laki-laki yang shalat bersama imam hingga selesai, ia dianggap telah shalat semalam penuh.”[35]
Dan mereka juga menyatakan, jika seseorang tidak memungkinkan untuk
ikut shalat tarawih berjamaah, maka ia dianjurkan untuk shalat
sendirian, berdasarkan keumuman hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ‘Barangsiapa yang melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan
mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah
lalu’[36].
***
Selesai dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala.
Daftar Pustaka
Al-‘Asqalani, Ibn Hajar. 1379 H. Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail. 1422 H. Shahih al-Bukhari. t.tp.: Dar Thauq an-Najah.
Al-Jaziri, ‘Abdurrahman. 2003. Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Al-Kasani, ‘Alaauddin. 1986. Bada-i’ ash-Shana-i’ fi Tartib asy-Syara-i’. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Al-Maqdisi, Ibn Qudamah. 1968. Al-Mughni. Kairo: Maktabah al-Qahirah.
An-Naisaburi, Muslim ibn al-Hajjaj. t.t. Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi.
An-Nasai, Ahmad ibn Syu’aib. 1986. Sunan an-Nasai. Halab: Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyah.
An-Nawawi, Yahya ibn Syaraf. t.t. Al-Majmu’. Damaskus: Dar al-Fikr.
As-Sijistani, Abu Dawud. t.t. Sunan Abi Dawud. Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah.
At-Tirmidzi, Abu ‘Isa. 1975. Sunan at-Tirmidzi. Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi.
At-Tuwaijiri, Muhammad. 2009. Mausu’ah al-Fiqh al-Islami. t.tp.: Bait al-Afkar ad-Dauliyah.
Ibn Hanbal, Ahmad. 2001. Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Muassasah ar-Risalah.
Jama’ah min al-‘Ulama. 1993. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah Juz 28. Mesir: Dar ash-Shafwah.
Catatan Kaki:
[1] QS. At-Taubah [9]: 103.
[2] Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, Kitab an-Nikah hadits no. 1431 (2/1054).
[3] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (27/51).
[4] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (27/135), Mausu’ah al-Fiqh al-Islami (2/646).
[5] Fath al-Bari (4/250).
[6] Mausu’ah al-Fiqh al-Islami (2/646). Redaksi Arabnya: قيام رمضان أول الليل.
[7] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (27/135). Redaksi Arabnya: قيام شهر رمضان، مثنى مثنى، على اختلاف بين الفقهاء في عدد ركعاتها، وفي غير ذلك من مسائلها.
[8] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (27/136), al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (1/309). Di al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah,
yang menyatakan shalat tarawih hukumnya sunnah muakkadah adalah
Hanafiyah, Hanabilah, dan sebagian Malikiyah, sedangkan Syafi’iyah tidak
disebutkan. Di al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, disebutkan ‘inda tsalatsah minal a-immah, selain Malikiyah.
[9] Al-Majmu’ (4/31).
[10] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al-Iman hadits no. 37 (1/16), dan Kitab Shalah at-Tarawih hadits no. 2009 (3/44), juga oleh Muslim dalam Shahih-nya, Bab at-Targhib fi Qiyam Ramadhan hadits no. 759 (1/523). Dikeluarkan juga oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan lainnya.
[11] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab at-Tahajjud hadits no. 1129 (2/50), dan oleh Muslim dalam Shahih-nya, Bab at-Targhib fi Qiyam Ramadhan hadits no. 761 (1/524). Dikeluarkan juga oleh Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya.
[12] Atsar ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab Shalah at-Tarawih hadits no. 2010 (3/45).
[13]
Semua ulama sepakat bahwa praktik yang dilakukan oleh para shahabat,
terlebih lagi jika mereka bersepakat di dalamnya, merupakan sunnah yang
diikuti, bukan bid’ah yang sesat. Hal ini misalnya berdasarkan hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini: فعليه بسنتي وسنة
الخلفاء الراشدين المهديين. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
at-Tirmidzi, hadits no. 2676 (5/44), dan yang lainnya. At-Tirmidzi
berkata bahwa hadits ini hasan shahih.
[14] Takhrij atsar sudah disebutkan sebelumnya.
[15]
Orang yang tidur, maksudnya adalah orang yang tidur di awal malam,
ba’da shalat ‘Isya, agar bisa shalat malam di akhir malam, dan itu lebih
utama.
[16] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (27/139-140).
[17] Al-Majmu’ (3/77).
[18]
Hal ini disebutkan oleh al-Bukhari dalam hadits no. 1045 dan 1051,
sedangkan Muslim menyebutkannya dalam hadits no. 901. Riwayat ini juga
disebutkan oleh imam-imam ahli hadits lainnya di kitab mereka.
[19] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (27/140).
[20] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, hadits no. 1147, 2013, dan 3569, serta oleh Muslim dalam Shahih-nya, hadits no. 738. Dikeluarkan juga oleh imam-imam ahli hadits lainnya.
[21] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (27/141).
[22] Bada-i’ ash-Shana-i’ fi Tartib asy-Syara-i’ (1/288).
[23] ibid.
[24] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (27/143).
[25] ibid.
[26] ibid (27/141).
[27] ibid (27/145-147).
[28] Hadits tersebut dan takhrijnya sudah saya sebutkan sebelumnya.
[29] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Bab Maa Jaa-a fi al-Witr hadits no. 990 dan 993, serta oleh Muslim dalam Shahih-nya, Bab Shalah al-Lail Matsna Matsna hadits no. 749. Dikeluarkan juga oleh imam-imam ahli hadits lainnya.
[30] Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, Bab Shalah
al-Lail wa ‘Adad Raka’at an-Nabiy Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam fi
al-Lail wa Anna al-Witr Rak’ah wa Anna ar-Rak’ah Shalah Shahihah hadits no. 736 (1/508).
[31] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (27/144-145).
[32] ibid (27/146-147).
[33] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Bab Maa Yajuuzu min al-Ghadhab wa asy-Syiddah li AmriLlah hadits no. 6113 (8/28), dan oleh Muslim dalam Shahih-nya, Bab Istihbab Shalah an-Nafilah fi Baitihi wa Jawaaziha fi al-Masjid hadits no. 781 (1/539). Dikeluarkan juga oleh imam ahli hadits lainnya.
[34] Al-Mughni (2/124).
[35] Hadits ini disebutkan di kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah.
Imam at-Tirmidzi (3/160) meriwayatkannya dengan redaksi: إنه من قام مع
الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة, beliau berkata bahwa hadits ini hasan
shahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (2/50) dan an-Nasai
(3/83), dengan redaksi: إن الرجل إذا صلى مع الإمام حتى ينصرف حسب له
قيام ليلة.
[36] Takhrij hadits ini sudah disebutkan sebelumnya.