Bagi sebagian orang, penerapan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara masih menjadi momok yang menakutkan. Barangkali, jika itu terjadi pada orang-orang kafir memang tidak diherankan. Namun, sangat mengherankan jika sikap itu juga menghinggapi orang-orang yang mengaku Muslim. Sebab, dari berbagai penjuru, tak ada alasan untuk menolak dan takut pada penerapan syariat Islam.
Dari sisi syariat, dalil yang mewajibkan penerapan syariat Islam secara kaffah terkategori qath’i, baik tsubut maupun dalalah-nya. Dalil itu ada yang berupa perintah kepada manusia untuk memutuskan semua perkara dengan syariat-Nya (QS al-Maidah [5]: 48, 49); ada yang sekaligus memberikan celaan dan ancaman terhadap setiap orang yang membangkangnya (QS al-Ahzab [33]: 36).
Kewajipan tersebut diperkuat dengan dalil-dalil yang melarang setiap Mukmin mengambil dan menerapkan hukum yang tidak berasal dari-Nya (QS al-Maidah [5]: 44, 45, 47; an-Nisa’ [4]: 50). Sedemikian kerasnya larangan itu, hingga Allah Swt. menolak pengakuan iman orang yang tidak bersedia berhukum dengan syariat Islam (QS an-Nisa’ [4]: 65). Jika menerapkan syariat telah nyata merupakan kewajiban dari Allah Swt., atas dasar apa berani menolak syariat-Nya? Adakah ketentuan syariat Islam yang patut ditakuti?
Bagian syariat yang sering dipandang sebagai momok yang menakutkan adalah beberapa ketentuan-ketentuan hukum dalam nizham al-’uqubat (sistem hukuman). Berbagai jenis dan bentuk kasus yang ditetapkan syariat seperti rajam, qisas, atau potong tangan dianggap terlalu keras dan tidak berperikemanusiaan; bahkan sudah dianggap ketinggalan zaman dan tidak layak bagi manusia moden. Tragisnya, syariat Islam yang diterapkan dalam negara kebanyakannya hanya dipahami di lingkungan hukum tersebut.
Ketakutan itu jelas tidak beralasan. Sebab, berbagai jenis dan bentuk hukuman yang ada dalam nizham al-’uqubat itu hanya akan dikenakan kepada pelaku pelanggaran syariat. Hukuman rajam, misalnya, tidak akan ditimpakan kecuali terhadap pelaku perzinaan; potong tangan tidak akan dijatuhkan kecuali terhadap pencuri (yang memenuhi syarat-syarat syar’i untuk dipotong tangannya).
Oleh kerana itu, mereka yang bukan pezina, pencuri, pemabuk, pembunuh, dan pelaku pelanggaran syariat lainnya tidak perlu khawatir dengan berbagai jenis hukuman itu. Lagi pula, berbagai hukuman semestinya harus dilihat sebagai bentuk perlindungan kepada masyarakat umum dan penjagaan dari pelanggaran syariat. Hukuman rejam bagi penzina, misalnya, harus dipandang sebagai perlindungan syariat agar manusia tetap menjadi makhluk beradab.
Pemahaman yang menjadi identitas syariat Islam hanya di lingkungan nizham al-’uqubat juga merupakan kesalahan besar. Sebagai dien yang sempurna, Islam menyediakan sistem yang sempurna untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Berbagai interaksi yang dilakukan manusia tidak ada yang dibiarkan terlepas dari syariat untuk mengaturnya. Syariat Islam telah memberikan pengaturan secara jelas terhadap semua interaksi yang dilakukan oleh manusia, baik interaksi manusia dengan Tuhannya dalam bentuk akidah dan hukum-hukum ibadah; dengan dirinya sendiri dalam hukum-hukum tentang makanan, pakaian, dan akhlak; maupun dengan sesamanya yang terkandung dalam hukum-hukum muamalat dan ‘uqubat. Jika dikaitkan dengan hukum-hukum lainnya, nizham al-’uqubat lebih berfungsi sebagai ‘palang pintu’ terakhir untuk menjaga manusia agar tidak terjerumus ke dalam penyimpangan dan pelanggaran.
Sesuai dengan pandangan seorang ulama’ dari Al-Quds, Palestina, Syeikh Taqiuddin An-Nabhani di dalam Kitabnya, Nizahmul Islam (Peraturan Hidup dalam Islam) yang menjelaskan bahwa Islam itu bermaksud pengatur kepada hubungan antara manusia dengan Al-Khaliq (Pencipta), yakni Allah SWT, manusia dengan manusia dan manusia dengan dirinya sendiri. Beliau juga menjelaskan bahawa Islam bukan hanya perlu dilihat daripada segi spiritual tetapi Islam juga perlu dilihat sebagai ‘pengatur’ hidup manusia.
Perlu dicatat, bahwa semua ketetapan syariat itu pada hakikatnya adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan manusia. Semua perkara yang dituntut syariat untuk dikerjakan adalah maslahat bagi manusia. Sebaliknya, semua perkara yang dituntut oleh syariat untuk ditinggalkan adalah mudarat bagi manusia.
Oleh kerana itu, setiap orang yang beriman dan mentaati syariat-Nya akan dianugerahkan kehidupan yang baik (QS an-Nahl []: 97). Allah Swt. juga berjanji akan melimpahkan dan membukakan berkat-Nya dari langit dan bumi kepada penduduk negeri yang mahu beriman dan bertakwa (QS al-A’raf [7]: 96). Orang yang menjalankan dien-Nya secara istiqamah juga dijamin memperoleh kehidupan yang mudah (QS al-Maidah [5]: 66).
Terdapat banyak fakta yang menunjukkan bukti keunggulan dan kehebatan syariat Islam dalam menata kehidupan dan menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Oleh kerana itu, dari sisi keunggulan, tidak ada satu pun sistem kehidupan yang melebihi Islam yang telah lengkap. Paparan berikut hanya mengungkap secuil bukti kebenaran tersebut.
Syariat Islam dalam Hukum dan Pemerintahan
Persoalan fundament dalam sistem politik adalah menyangkut konsep kedaulatan. Kedaulatan merupakan kekuasaan yang tertinggi dan mutlak; satu-satunya yang memiliki hak untuk mengeluarkan hukum. Dengan demikian, kedaulatan memiliki kedudukan amat penting bagi kehidupan suatu negara. Ia menjadi rujukan seluruh warga negara sekaligus memiliki kekuatan hukum yang mampu memaksa mereka untuk menjalankan atau meninggalkan sesuatu.
Kerana itu, konsep kedaulatan akan menentukan corak masyarakat, arah kebijakan negara, dan semua subsistem yang menjadi turunannya seperti sistem hukum, peradilan, ekonomi, dan sebagainya. Dalam Islam, kedaulatan ada di tangan syariat Islam. Islam hanya mengakui Allah Swt. satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-Hakim) dan syariat (al-Musyarri’); baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalat, maupun uqubat . Islam tidak memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum meski satu hukum sekalipun. Justru manusia, apa pun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah (pemimpin), semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang wajib tunduk dan patuh dengan keseluruhan hukum yang dibuat oleh Allah Swt.
Dengan konsep kedaulatan ini, manusia akan bebas dari penghambaan kepada sesama manusia. Ini karena, status manusia di hadapan hukum semua sama. Tidak ada yang lebih berkuasa membuat hukum sehingga boleh memaksa kehendaknya kepada yang lain. Tidak ada pula kekhuatiran akan ada hukum yang menguntungkan satu pihak dan menzalimi pihak lain. Sebab, hukum Islam berasal dari Zat Yang Maha Adil; Allah tidak memiliki kepentingan apa pun terhadap kelompok manusia tertentu. Hukum Islam dipastikan juga tidak akan mengalami perubahan karena Allah Yang Maha Tahu membuat hukum sesuai dengan fitrah manusia di mana pun dan bila pun manusia berada; tidak didasarkan pada tempat dan zaman tertentu. Selama fitrah manusia sejak Nabi Muhammad saw. sampai sekarang tidak berubah, hukum Islam pun tidak akan dan tidak akan berubah.
Memang, dalam pemerintahan, rakyat diwajibkan taat kepada pemimpin. Namun, bukan bererti pemimpin boleh memerintah dengan ikut suka hatinya. Sebab, dalam menjalankan roda pemerintahannya, pemimpin harus terikat dengan syariat. Bahkan pemimpin diangkat dalam rangka menjadi wakil umat untuk menjalankan syariat. Oleh karena itu, jika perintah pemimpin terbukti menyimpang dari syariat, ia tidak boleh didengar dan ditaati. Bahkan rakyat dan semua komponen masyarakat harus meluruskan pemimpin tersebut dengan melakukan amar makruf nahi mungkar, apa pun risikonya. Upaya itu dilakukan bukan dalam rangka menjatuhkan penguasa sebagaimana yang lazim dilakukan oleh parti pembangkang dalam sistem demokrasi. Namun demikian, jika Khalifah benar-benar tidak bersedia kembali pada syariat Islam, bahkan secara terang-benderang memperlihatkan tanda-tanda kufran bawahan (kekufuran yang nyata), rakyat harus mengambil-alih kekuasaan meskipun harus mengangkat senjata.
Jika konsep ini dijalankan dengan sempurna, roda pemerintahan akan lurus; clean goverment akan terwujud.
Kestabilan pemerintahan pun dapat terjaga tanpa harus memasung sikap kritis warga negara dalam melakukan kawalan terhadap penguasa. Bagi pemimpin, konsep itu tentu amat memudahkan. Ketika dia membuat berbagai program dan kebijakan yang sesuai dengan syariat, dia berhak dan wajib ditaati rakyatnya. Andai dia keliru dan nyata-nyata bertentangan dengan syariat, rakyat siap mengingatkan dirinya. Jika memang nasihat rakyatnya memiliki dasar dalil yang kuat, dia harus menerima. Hasilnya, kesalahan pun kurang terjadi.
Umar bin al-Khatthab, ketika menjadi khalifah, pernah membuat keputusan berupa penetapan jumlah mahar yang boleh diminta wanita. Kebijakan itu dikeluarkan untuk memudahkan lelaki dalam soal nikah-kahwin. Akan tetapi, keputusan tersebut disangkal oleh seorang wanita. Menurut wanita itu, kebijakan tersebut bertentangan dengan firman Allah di dalam QS an-Nisa’ [4]: 20. Kerana didasarkan pada dalil yang kuat, Umar pun menerima sangkalan tersebut dan berkata, “Benarlah wanita itu, dan sayalah yang keliru.”
Dengan demikian, roda pemerintahan tidak bertopang pada kekuatan figur pemimpin, tetapi lebih bersandar pada ideologi negara, yakni Islam. Tidak pelik, meskipun dalam sejarah pernah terjadi perebutan kekuasan di antara beberapa kelompok, sistem yang diterapkan tidak mengalami perubahan. Sekitar 13 abad, Daulah Islamiyah berdiri dengan kukuh memayungi umat Islam. Bandingkan dengan Komunisme, yang pernah digemburkan penganutnya menjadi babak akhir sejarah manusia. Belum satu abad, ideologi itu sudah jatuh dan ditinggalkan pengikutnya. Demikian pula dengan Kapitalisme. Meskipun terlihat maju dan stabil, sebenarnya ideologi ini juga amat rapuh. Dipastikan, tidak lama lagi ideologi ini pun akan turut menyusul ideologi yang pernah menjadi pesaingnya.
Syariat Islam dalam Dunia Pendidikan
Dalam pendidikan, akidah Islam diletakkan sebagai asasnya. Akidah Islam inilah yang menjadi penentu arah dan tujuan pendidikan, kurikulum yang diajarkan, dan kaedah pengajaran; termasuk penentuan guru dan budaya sekolah dalam semua bidang pendidikan.
Akidah Islam adalah asas dalam konteks mengambil dan meyakininya. Dengan kata lain, akidah Islam harus dijadikan sebagai standar untuk menilai, apakah pengetahuan yang diambil itu bertentangan dengannya atau tidak.
Sebagai contohnya, pendidikan dalam Islam dapat memilih tegas antara tsaqafah dan ilmu-ilmu eksperimental. Dalam hal tsaqafah (pemikiran), umat Islam hanya diperbolehkan mengambil dan meyakini pemikiran yang berasal dari Islam; tidak boleh menggunapakai tsaqafah lainnya. Sebab, tsaqafah terkait erat dengan akidah dan sistem kehidupan. Sebaliknya, dalam hal ilmu-ilmu eksperimental dan teknologi seperti fisika, kimia, kedokteran, astronomi, matematika, dan sebagainya, kita boleh belajar dan mengambilnya dari kaum kuffar. Sebab, semua jenis pengetahuan tersebut bersifat universal yang tidak terkait dengan ideologi tertentu.
Dengan konsep tersebut, tujuan pendidikan yang diorientasikan untuk melahirkan generasi yang memiliki keperibadian Islam, menguasai tsaqafah Islam, dan ilmu-ilmu kehidupan akan benar-benar terwujud. Sebaliknya, keperibadian ganda pada pelajar-pelajar Muslim hasil didikan sistem pendidikan sekular yang selama ini banyak dikeluhkan dapat dicegah.
Islam mewajibkan para penguasa untuk membiayai pendidikan rakyatnya. Ini kerana, dalam pandangan syariat, penguasa berkewajiban memelihara, mengatur, dan melindungi urusan rakyat, termasuk dalam bidang pendidikan dan penghapusan warga cetek ilmu. Semua rakyat harus dapat menikmati pendidikan secara percuma. Seluruh warga negara juga diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menggapai pendidikan dan melanjutkan pendidikan ke peringkat yang lebih tinggi dengan kemudahan yang sebaik mungkin.
Dana pendidikan itu diambil dari Baitul Mal. Ketetapan ini diambil berdasarkan fi’liyyah (perbuatan) Rasulullah saw. Rasulullah saw., yang juga menjadi Khalifah, telah menganti tebusan yang harus dibayar para tawanan Perang Badar dengan keharusan mereka masing-masing untuk mengajar sepuluh anak-anak kaum Muslim.
Pada masa pemerintahan Umar bin al-Khatthab, para guru yang mengajar anak-anak juga mendapatkan gaji 15 dinar (1 dinar=4.25 gram emas) yang diambilkan dari Baitul Mal.
Langkah itu diikuti oleh para khalifah dan penguasa berikutnya. Di Baghdad pernah dibangun Universiti al-Mustanshiriyyah. Khalifah Hakam bin Abdurraham an-Nashir juga pernah mendirikan Universitas Cordova yang saat itu menampung mahasiswa dari kaum Muslim maupun dari Barat. Universitas-universitas itu telah melahirkan para ilmuan yang pengaruhnya dikenali ramai hingga kini melalui berbagai penemuannya; seperti ar-Razi, orang pertama yang mengenal pasti penyakit cacar dan campak dan menggeluti bidang operasi; Ibnu al-Haitsam, ahli optik yang menemukan perbandingan antara sudut pemantulan (refleksi) dan pembiasan (refraksi); al-Khawarizmi, orang pertama yang menyusun algebra; Jabir bin Hayan, seorang ahli kimia yang terkenal; al-Biruni yang meletakkan sebuah teori sederhana guna mengetahui kandungan dari lingkungan geologi; dan sebagainya.
Keadaan itu tentu jauh berbeza dengan saat ini. Biaya pendidikan dibebankan kepada rakyat. Akibatnya, pendidikan menjadi mahal. Hanya keluarga yang berduit saja yang dapat menikmati pendidikan. Jika kebijakan itu diteruskan maka kebodohan dan kemiskinan yang dialami sebahagian besar rakyat akan tetap terjadi. Kebodohan dan kemiskinan struktural pun menjadi tanpa dapat disekat. Keadaan itu tentu menjadi ‘bom waktu’ yang akan meledak pada suatu saat nanti.
Syariat Islam dan Kesehatan
Sebagaimana pendidikan, kesehatan juga merupakan keperluan asasi yang harus dirasakan manusia dalam hidupnya. Keduanya termasuk masalah ‘pelayanan umum dan kemaslahatan hidup terpenting’. Dalam hal ini, negara wajib menjaga dan mewujudkan sepenuhnya bagi seluruh warganya; baik Muslim maupun non-Muslim, kaya maupun miskin. Semua biaya yang diperlukan menjadi tanggungan Baitul Mal.
Ketetapan itu didasarkan pada fi’liyyah Rasulullah saw. Ketika beliau menerima hadiah dari Muqauqis, Raja Mesir, berupa dokter, dokter itu dijadikan sebagai dokter kaum Muslim dan untuk seluruh rakyat. Tugasnya mengubati setiap anggota masyarakat yang sakit. Sikap beliau menjadikan doktor untuk kepentingan umum ini berbeda saat beliau mendapatkan hadiah dari Raja Aikah berupa selimut bulu dan keledai. Hadiah tersebut digunakan beliau sebagai milik peribadi. Tindakan Rasulullah saw. tersebut, yakni menjadikan dokter untuk seluruh rakyat, menunjukkan bahawa hadiah tersebut bukanlah untuk kepentingan beliau, namun untuk kaum Muslimin.
Pernah serombongan orang yang datang dari Urainah datang mengunjungi Rasulullah saw. di Madinah. Mereka menyatakan keimanan dan keislamannya kepada Rasulullah saw. Di sana mereka terserang penyakit dan menderita sakit limpa. Rasulullah saw. memerintahkan mereka beristirahat di pos penggembala ternak kaum Muslim milik Baitul Mal, di sebelah Quba. Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan mereka diizinkan meminum susu unta kerana mereka memang berhak. Rasulullah saw. juga pernah membangunkan satu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dari harta Baitul Mal.
Pada masa lalu, Daulah Islamiyah telah menjalankan fungsi ini dengan sebaik-baiknya. Ia telah menjamin kesehatan masyarakat, mengatasi dan mengubati orang-orang sakit, serta mendirikan tempat-tempat pengubatan. Umar bin al-Khatthab ra. pernah memberikan sesuatu dari Baitul Mal untuk membantu satu kaum yang diserang penyakit di jalan menuju Syam, ketika melewati daerah tersebut.
Hal yang sama juga dilakukan oleh para khalifah dan wali-wali sesudahnya. Dalam bidang pelayanan kesehatan ini, Bani Ibn Thulun di Mesir memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci tangan, almari tempat menyimpan minuman, dan obat-obatan serta dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan secara percuma kepada orang-orang yang sakit.
Bani Umayah telah banyak membangunkan rumah sakit yang disediakan untuk orang yang terkena penyakit. Bani Abasiyah juga banyak mendirikan rumah sakit di Baghdad, Cairo, Damaskus, dan lain-lain. Merekalah yang mempopularkan rumah sakit keliling.
Jadi, menyediakan dokter di tengah-tengah masyarakat, mengatasi masalah kesehatan masyarakat, serta pembangunan sarana atau balai-balai kesehatan adalah tugas yang dibebankan Islam kepada negara. Negaralah yang bertanggungjawab terhadap perwujudan semua itu.
Jaminan negara terhadap rakyatnya dalam bidang kesehatan ini amat penting. Sebab, salah satu penunjuk terhadap sebuah negara dikatakan kuat adalah warganya hidup sehat, baik fisik maupun psikologinya. Tahap kesehatan warga juga akan berpengaruh pada tahap produktivitas, kreativitas, dan kesejahteraan warga.
Sebaliknya, pengabaian tanggungjawab ini akan berakibat menyeluruh bagi masyarakat secara luas. Ketika pembiayaan kesehatan dibebankan kepada rakyat, kesehatan menjadi barang yang mahal. Orang-orang miskin, kerana tidak mempunyai cukup uang, tidak dapat berobat. Padahal, boleh jadi penyakit yang dihidapinya itu adalah penyakit wabah menular yang berbahaya, yang jika dibiarkan tidak diobati, akan berubah menjadi wabah yang mengancam seluruh warga masyarakat.
Syariat Islam dan Jaminan Keamanan
Selain pendidikan dan kesehatan, masalah keamanan juga terkategori sebagai keperluan asasi. Keamanan ini dapat dibahagi menjadi dua, yakni:
(1) berkaitan keamanan negara dari ancaman luar negeri;
(2) berkaitan keamanan negara dari gangguan dalam negeri.
Berkaitan dengan ancaman luar, Islam menjadikan penjagaan keamanan dan kedaulatan ada pada setiap Muslim. Berbeza dengan jihad ibtida’i (ofensif) yang fardhu kifayah, jihad defensif dalam rangka menjaga dan melindungi negara dari serangan musuh hukumnya fardhu ain. Dengan ketetapan itu, negara dapat mengerahkan seluruh rakyatnya untuk mengangkat senjata untuk menghalau musuh.
Di samping itu, negara juga wajib membekalkan tentaranya dengan pendidikan ketenteraan yang secanggihnya. Negara juga wajib menyiapkan segala kekuatan yang boleh menggentarkan musuh, baik musuh yang akan menyerang atau yang akan diserang. Kekuatan itu berupa persenjataan, peralatan tempur, perbekalan, bekalan peluru, serta peralatan lain yang memadai. Semua kekuatan perang, baik industri maupun ketenteraannya, harus ditingkatkan melebihi kekuatan bangsa-bangsa besar. Dengan cara begitu, negara akan disegani dan ditakuti. Ringkasnya, Daulah Islamiyah harus bersiap sedia pada setiap saat dalam menghadapi ancaman musuh supaya keamanan dan kedaulatan negara dapat terjaga.
Berkaitan dengan keamanan negara dari gangguan dalam negeri, Islam menetapkan seperingkat hukum dalam nizham al-’uqubat. Dengan seperingkat hukum itulah negara menjaga dan melindungi warganya. Untuk menjaga nyawa warganya, diperlakukan hukum qishash. Tidak ada seorang pun yang dapat membatalkan hukum kecuali keluarga korban. Itu pun harus disertai dengan pembayaran diyat (denda) yang cukup besar; 1000 dinar atau 100 ekor unta atau 200 ekor sapi. Hukuman itu berlaku bagi siapapun, baik lelaki atau wanita, Muslim atau bukan Islam.
Terhadap orang yang mengganggu harta milik orang lain, Islam menerapkan hukuman tegas. Pencuri yang mencapai nisab (1/4 dinar) dan memenuhi syarat lainnya akan dijatuhi hukum potong tangan. Penyangak yang membunuh dan merampas harta benda akan dibunuh dan disalib. Yang membunuh tetapi tidak merampas harta benda akan dibunuh. Yang merampas harta tetapi tidak membunuh akan dipotong tangan dan kakinya secara bersilang.
Untuk menjaga kehormatan seseorang dari gosip dan isu yang tidak bertanggung jawab, Islam menjaganya dengan hukum qadzaf. Orang yang menuduh wanita-wanita yang suci dan terjaga berzina, namun tidak dapat menghadirkan empat saksi, akan dicambuk 80 kali.
Beratnya hukuman yang diberikan Islam tentu saja menunjukkan betapa besar perlindungan negara terhadap rakyatnya. Kejahatan adalah penyakit masyarakat. Agar tidak menular dan menjangkiti masyarakat, ia harus dibendung segera. Caranya dengan menjatuhkan hukuman tegas kepada pelakunya. Hukuman yang tegas dapat memberi keinsafan kepada pelakunya, sekaligus membuat orang lain takut untuk melakukannya.
Di antara penyebab maraknya pembunuhan dan tindakan jenayah lainnya di negeri ini adalah terlampau ringannya hukuman yang diberikan. Dalam banyak kasus pembunuhan, pelakunya hanya dijatuhi hukuman belasan tahun, atau bahkan kurang dari sepuluh tahun. Itu pun boleh dikurangi dengan kebijakan pengadilan yang biasanya memberi tiap hujah-hujah atau bukti yang meyakinkan.
Hukuman yang terlampau ringan seperti itu tidak memberi apa-apa kesan terhadap pelakunya dan tidak menimbulkan rasa takut bagi yang belum melakukan, di samping dapat memunculkan ketidakpuasan pada mangsa atau keluarga mangsa. Akibatnya, masyarakat lebih suka main hakim sendiri, yang tidak langsung melewati batas kemanusiaan. Hanya karena mencuri ayam, misalnya, seseorang dibakar hingga mati.
Kemulian Wanita dalam Perlindungan Syariat Islam
Menurut Islam, di hadapan Allah Swt. darjat lelaki dan wanita sama. Kalau pun ada yang lebih tinggi, bukan disebabkan jantinanya, tetapi kerana ketakwaannya. Keduanya, baik lelaki mahupun wanita, sama-sama mukallaf yang menjadi objek seruan syariat. Tanpa ada perkecualiaan, mereka wajib mengimani risalah-Nya dan menjalankan syariat-Nya. Siapapun di antara mereka yang tunduk pada syariat, disediakan baginya syurga. Sebaliknya, jika membangkang dari syariat, azab neraka siap menyambutnya. Dalam hal ini, tidak ada diskriminasi kerana perbedaan jenis kelamin.
Dalam persoalan hukum, pada hakikatnya syariat diperuntukkan bagi seluruh manusia, baik lelaki mahupun wanita. Seruan hukum yang bersifat umum itu tetap pada keumumannya selama tidak ada dalil-dalil yang mengkhususkannya. Baru jika ada dalil yang mengkhususkan bahawa hukum itu hanya untuk lelaki atau khusus untuk wanita, hukum tersebut menjadi khusus. Contohnya adalah hukum tentang batas aurat, pakaian yang wajib dikenakan, beberapa hal dalam dalam pernikahan dan perceraian (keharusan adanya wali wanita, mahar dari laki-laki untuk wanita, adanya masa iddah bagi wanita, dsb) waris, dan sebagainya. Hukum-hukum tersebut bersifat khusus kerana ada dalil yang mengkhususkannya.
Meskipun demikian, bukan bererti Islam bersikap tidak adil seperti yang dituduhkan para penganut feminisme. Sebab, pada faktanya, karakter lelaki dan wanita tidak selalu sama. Bentuk fisik juga berbeda. Perbedaan karakter mahupun fisik itu menuntut adanya pembagian tugas-tugas tertentu dalam kehidupan yang berbeda satu sama lain. Menuntut kesetaraan pada keduanya dalam segala hal merupakan tindak kezaliman terhadap salah satu dari kedua belah pihak tersebut. Kerana ada perbedaan dalam pembentukan dan karakter dari masing-masing lelaki dan wanita, merupakan sebuah keadilan jika Allah Swt. membebankan hukum yang berbeda/khusus kepada masing-masing keduanya dalam beberapa hal tertentu. Adanya perbedaan pembebanan beberapa hukum ini juga harus dipandang sebagai pembahagian tugas yang saling mengisi. Sebagai contoh, suami ditetapkan syariat harus menjadi pemimpin rumah tangga, sementara wanita ditetapkan sebagai ibu dan pengatur rumahtangga. Ketetapan ini tentu akan menciptakan keharmonian dalam hidup berumahtangga.
Di samping telah menempatkan wanita pada posisi yang sesuai dengan karakter dan tabiatnya, syariat juga telah menetapkan beberapa hukum yang dapat menjaga kehormatannya. Di antaranya, ketentuan al-hayah al-khashshah (kehidupan khusus) di dalam rumah yang membolehkan perempuan membuka sebagian auratnya dan al-hayah al-khashshah (kehidupan umum) yang mewajibkannya mengenakan tudung dan jilbab. Larangan wanita melakukan perjalanan seorang diri yang memakan waktu sehari-semalam, larangan berkhalwat dengan lelaki tanpa diserta mahram, larangan tabarruj dalam kehidupan umum, dan larangan ikhtilath (bercampur baur) dengan lelaki asing, juga dapat dimasukkan sebagai hukum yang berguna melindungi kehormatan wanita.
Jelaslah, Islam menempatkan wanita pada darjat tinggi setara dengan lelaki, menjaga tabiat kewanitaannya, dan melindungi kehormatannya. Kondisi itu tentu jauh sekali dengan Kapitalisme yang sering memandang dan menghargai wanita semata dari aspek jasad dan tubuhnya.
Kedudukan Non Islam
Dalam konteks bernegara, secara umum orang kafir terbahagi menjadi dua, yakni:
(1) warga negara;
(2) bukan warga negara.
Orang-orang non-Muslim yang termasuk warga negara Islam disebut kafir dzimmi, yakni orang-orang yang tidak beragama Islam namun hidup di dalam naungan Daulah Islamiyah. Orang yang berstatus dzimmi memiliki perjanjian berupa perlindungan dari umat Islam untuk memperlakukan mereka sesuai dengan apa yang layak untuk mereka, termasuk mengatur segala urusan mereka dengan hukum Islam.
Semua orang yang menyandang status sebagai warga negara akan menikmati semua hak, di samping menjalankan semua yang ditetapkkan oleh syariat. Tidak ada bedanya antara Muslim atau bukan Islam. Mereka harus diperlakukan secara adil (QS an-Nisa’ [4]: 8).
Negara juga tidak boleh memberikan keistimewaan kepada individu-individu tertentu di antara rakyatnya dalam masalah hukum, pengadilan, dan pengaturan berbagai urusan; tidak boleh ada diskriminasi atas dasar warna kulit, agama, atau yang lainnya. Dalam hal muamalat dan ‘uqubat, negara menerapkan hukum Islam kepada seluruh warganya, baik Muslim maupun bukan.
Sedangkan dalam hal keyakinan agama, mereka tidak diganggu (QS al-Baqarah [2]: 256); demikian pula dalam urusan pernikahan dan perceraian. Mereka juga tidak dipaksa ikut berjihad. Dalam hal makanan dan pakaian, mereka diperlakukan sesuai dengan agama mereka. Jika agama mereka membolehkan babi dan khamar, mereka diizinkan memakannya; asal berada dalam lingkungan mereka. Kaum lelakinya juga tidak dilarang mengenakan emas atau sutera. Hanya saja, mereka tidak diperbolehkan memperjualbelikan makanan atau minuman yang diharamkan Islam itu di pasar-pasar. Wanita-wanitanya juga tidak diperkenankan menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan syariat ketika berada dalam kehidupan umum. Sebab, dalam kehidupan umum semua warga negara harus tunduk pada hukum Islam tanpa memperhatikan lagi agama yang dipeluknya.
Dalam sejarah, orang-orang bukan Islam telah merasakan bagaimana pengaturan dan jaminan Islam terhadap pemenuhan keperluan umat di bawah naungan Khilafah. Diceritakan dalam kitab al-Kharaj karangan Abu Yusuf bahwa Amirul Mukminin, Umar bin al-Khatthab ra., suatu saat melihat seorang Yahudi tua di suatu pintu. Beliau bertanya, “Apakah ada yang dapat aku bantu?” Orang Yahudi itu menjawab, bahwa ia sedang dalam keadaan susah dan memerlukan makanan, sementara ia harus membayar jizyah. “Usiaku sudah lanjut,” katanya. Umar lalu berkata, “Kalau begitu keadaanmu, alangkah tidak adilnya kami, kerana kami mengambil sesuatu darimu pada saat mudamu dan kami membiarkanmu di kala tuamu.”
Setelah berkata demikian, Khalifah Umar lalu membebaskan pembayaran jizyah Yahudi tersebut, dan memerintahkan Baitul Mal untuk menanggung beban nafkahnya beserta seluruh orang yang menjadi tanggungannya. Kesemua paparan di atas menunjukkan, bahawa tidak ada yang perlu ditakuti dari penerapan syariat Islam. Bahkan seharusnya, syariat Islam dirindukan oleh setiap orang yang mengaku Muslim. Siapa yang tidak merindukan hidup sejahtera, tenteram, dan bahagia di bawah naungan Islam? Jika kebenaran dan keunggulan Islam telah terpampang dengan jelas, masihkah ada yang mengeluh sejak sekian lama hidup menderita di bawah cengkeraman Kapitalisme, sebagaimana saat ini?
Subscribe
Rabu, 04 November 2009
KEUNGGULAN SYARIAT ISLAM
